apahabar.com, BANJARMASIN – Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) menilai penyebaran hoaks berbau SARA menjadi ancaman di Pemilihan Umum (Pemilu) 17 April 2019 mendatang.
“Lebih-lebih terhadap masyarakat yang masih minim literasi,” ucap Rofiqh selaku Direktur Eksekutif LK3, kepada Wartawan apahabar.com, Sabtu (23/2/2019).
Kendati demikian, peran tokoh masyarakat seperti pemuka agama sangat sentral dalam meredam umat dari hasutan atau provokasi oknum yang tak bertanggung jawab.
“Saya sangat tidak setuju apabila agama dijadikan alat politik pada Pemilu akan datang,” tegasnya.
Mungkin, tambahnya, sudah ada sebagian tokoh agama yang sudah terlibat langsung dengan dunia politik praktis. Tetapi, untungnya masih ada tokoh agama di Kalsel yang enggan berafiliasi dengan partai politik, semisal guru Zuhdiannor dan Guru Bakhiet.
“Karena sangat penting, seorang tokoh agama memberikan pemahaman ketika berada di atas mimbar,” jelasnya.
Yang dimaksud dengan pemilu aman, jelas Rofiqah, bukan hanya sesuai dengan prosedur, misalnya tata cara pencoblosan di surat suara. Melainkan, sisi substansi seperti halnya pemahaman masyarakat dalam memaknai Pemilu juga harus dikedepankan.
“Masyarakat harus mengerti. Agar benar-benar memilih pemimpin yang berintegritas,” jelasnya.
Sejauh ini, menurut Rofiqah, suasana politik di Banjarmasin masih relatif aman.
Baca Juga: Surat Suara Braille, Organisasi Difabel Ragukan Kerahasiaan Suara Pemilih Disabilitas di Banjarmasin
Sebelumnya diwartakan, Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) mencatat sebanyak lima kabupaten di Kalsel rawan terjadinya konflik menjelang dan saat pelaksanaan pemilu April 2019 mendatang.
“Seperti Kabupaten Tabalong, Balangan, Kotabaru, Hulu Sungai Tengah (HST), Banjar (paramasan),” ucap Kepala Kesbangpol Provinsi Kalimantan Selatan, Adi Santoso kepada apahabar.com, Sabtu (23/2/2019).
Menurutnya, kelima kabupaten tersebut berpotensi terjadi konflik, lantaran mempunyai wilayah terpencil dan masih minimnya infrastruktur.
Pihaknya, akan terus melaksanakan program sosialisasi kesiapan pemilu bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu Provinsi Kalimantan Selatan.
Mengenai logistik pemilu, kata Adi, seyogyanya harus mendapatkan dukungan dari Pemerintah Daerah (Pemda) setempat. Dengan tujuan agar logistik pemilu bisa sampai tepat waktu dan bisa digunakan. Baik saat pemilu maupun menjelang pemilu April 2019 mendatang.
“Semoga angka partisipasi pemilu di Kalsel semakin meningkat,” harapnya.
Adapun, Polisi Daerah (Polda) Kalsel menilai seluruh daerah ini berpotensi adanya konflik sosial. Baik gesekan antar sesama masyarakat, maupun kecurangan pemilu.
“Semua wilayah di Kalsel berpotensi terjadinya konflik sosial, seperti halnya Banjarmasin dan Kabupaten atau Kota lainnya,” ucap Kabid Humas Polda Kalsel, Kombes Pol Mochamad Rifai kepada apahabar.com, belum lama ini.
Pihaknya telah menyediakan tim Gakkumdu dari penyidik Polda Kalsel, Kejaksaan dan Pengadilan. Perihal tersebut terkait tindak pidana tertentu dalam pemilihan umum. Penyelesaian kasus harus berjalan sangat cepat. Bahkan, hanya 3-4 bulan sudah selesai.
“Tak boleh lama-lama dalam penyelesainnya,” tegasnya.
Mencegah terjadinya polemik di masyarakat, Polda Kalsel juga akan melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat preventif. Misalnya, melaksanakan kegiatan yang menyejukkan dan berbau positif.
Adapun untuk kegiatan yang bersifat represif, kata Rifai, berdasarkan perintah Mabes Polri akan menurunkan 3/4 kekuatan Polri dalam pengamanan pemilu 2019.
Saat ini kata Rifai, anggota Polri mencapai 400.000 personel. Sehingga, Polda Kalsel akan menurunkan 3.000 personel dalam Pemilu 17 April 2019 mendatang.
“Jumlah personel diturunkan 3/4 kekuatan. Kalau 400.000 personel, maka sekitar 3.000 personel Polda akan diturunkan,” pungkasnya.
Baca Juga: KPU Kalsel Ajukan Pengganti 846 Kotak Suara Rusak
Reporter: Muhammad Robby
Editor: Aprianoor