apahabar.com, PALANGKA RAYA — Bagi pasangan calon (paslon) kepala daerah yang tidak puas dengan hasil Pilkada serentak, sah-sah saja mengajukan sengketa Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, syarat pengajuan sengketa Pilkada harus memenuhi selisih 2 sampai 0,5 persen dari jumlah suara sah Pilkada.
“Untuk Pilgub Kalteng, dengan jumlah penduduk di atas 2 juta jiwa, maka masuk kategori pasal 158 ayat 1 huruf (b),” kata Pengamat Hukum dan Politik Kalimantan, Herdiansyah Hamzah, Selasa (15/12).
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2 juta sampai 6 juta jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5 persen, dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan KPU provinsi.
“Ini artinya jika Kalteng memiliki penduduk di atas 2 juta jiwa, maka otomatis akan bisa diterima MK, kalau selisih suara 1,5 persen,” ujar Castor, sapaan akrab Herdiansyah.
Apabila hasil perhitungan real count KPU nanti dibawah 1,5 persen atau paling banyak 1,5 persen, boleh diajukan ke MK dan akan diterima MK.
“Tapi kalau selisih suara lebih dari 1,5 persen, saya meyakini bahwa itu akan ditolak oleh MK,” tegas Castor.
Dijelaskannya, saat KPU menetapkan hasil akhir perhitungan berdasarkan real count, ada jumlah suara berapa calon A dan calon B.
Artinya, jika ada pihak atau paslon yang tidak puas, maka yang akan diajukan ke MK, perbandingan antara suara versi KPU dan paslon atau pemohon.
Kalau ada selisih, misalnya calon A, merasa perhitungan KPU berbeda dengan perhitungannya, maka selisih itu yang akan dihitung oleh MK.
“Jadi ada versi KPU berapa, versi si calon pemohon berapa. Dia mesti membuktikan kenapa suara berbeda dan di mana letak perbedaan. Ini yang akan dihitung MK,” pungkasnya.
Suara yang ditetapkan KPU sebagai objek sengketa, mesti dikonfirmasi atau ‘dihadap-hadapkan’ versi pemohon.