apahabar.com, BANJARMASIN – Ironi. Mungkin itu kata yang pas menggambarkan Indonesia saat ini.
Kelangkaan minyak goreng terjadi di mana-mana.
Padahal Indonesia merupakan negeri penghasil kelapa sawit terbesar di dunia.
Meminjam data statistik perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) menunjukkan, estimasi produksi kelapa sawit dalam bentuk minyak sawit/Crude Palm Oil (CPO) mencapai 49,7 juta ton pada 2021.
Jumlah tersebut meningkat 2,92% dibandingkan pada 2020 yang sebesar 48,3 juta ton.
Berdasarkan status pengusahaan, produksi minyak sawit terbesar berasal dari perusahaan besar swasta, yakni 30,72 juta ton pada 2021.
Produksinya naik 3,07% dibandingkan 29,8 juta ton pada 2020.
Sementara yang berasal dari perkebunan rakyat tercatat sebesar 16,75 juta ton, naik 2,72%.
Lalu, produksi minyak sawit yang berasal dari perusahaan besar negara sebesar 2,2 juta ton, naik 2,36%.
Adapun, Kementan mencatat sejak tahun 1980 perkembangan produksi kelapa sawit dalam bentuk CPO terus mengalami peningkatan.
Sejak 1980-2021, pertumbuhan rata-rata produksi minyak sawit sebesar 11,13% per tahun.
Namun, capaian itu dinilai kontradiktif dengan situasi hari ini.
“Ironis memang, karena negara lain sudah banyak mengakui Indonesia adalah tanah yang sangat kaya akan minyak goreng,” ucap Badan Pimpinan Ikatan Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI), Yogi Ilmawan kepada apahabar.com, Jumat (11/3).
Padahal, sambung dia, proyek produksi sawit di Tanah Air tidak main-main. Pembukaan lahan besar-besaran terjadi di sejumlah daerah.
Masih berdasarkan data Kementan, sebagian besar kelapa sawit di Indonesia diusahakan oleh perusahaan besar swasta dengan estimasi luas 30,7 juta hektar pada 2021.
Sementara perkebunan kelapa sawit yang diusahakan Perkebunan rakyat seluas 16,75 juta hektar.
Sedangkan luas areal perkebunan besar negara tercatat sebesar 579,6 ribu hektar.
“Dampaknya membuat hutan gundul hingga menimbulkan kebakaran hutan serta adanya perampasan tanah ulayat masyarakat adat,” tegasnya.
“Apakah pengorbanan itu juga harus ditambah dengan langka dan mahalnya minyak goreng sekarang?” lanjutnya.
Tak hanya itu, tambah dia, pemerintah baru saja mengimpor 4 ribu ton migor senilai 8,2 juta USD.
Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan 2021 kemarin.
Ia mendorong pemerintah harus segera melakukan evaluasi.
Masalah seperti ini tak bisa didiamkan berlama-lama.
“Ini pertanyaan besar bagi kita semua. Apa yang dipikirkan pemerintah? Mengapa impor lagi? Dan mengapa dengan jumlah impor itu, minyak goreng juga masih langka dan mahal harganya,” pungkasnya.