Sempat Minder
Pertama kali tiba di Simpang Nungki, Edi Susanto langsung berusaha mencari pekerjaan. Berkat bantuan beberapa teman, Edi memperoleh pekerjaan sebagai tukang pasang rangka atap aluminium.
Selama tiga tahun bekerja, Edi mampu membeli sebuah sepeda motor. Di sisi lain, hasil lahan pertanian yang digarap Slamet dan Warijem, sudah memadai untuk kebutuhan harian.
Namun semuanya berubah sejak insiden 7 September 2018. Warijem tidak lagi bisa membantu Slamet di sawah, karena harus menjaga Edi Susanto di rumah.
Semua kebutuhan harian Edi mesti dilayani. Mulai dari menyuapi makan dan minum, memandikan, hingga mengenakan pakaian.
Kemudian sepeda motor yang dibeli Edi juga dijual. Selain untuk kebutuhan sehari-hari, Slamet maupun Warijem belum bisa mengendarai sepeda motor.
Praktis Slamet menjadi tulang punggung keluarga dan mengandalkan pertanian sebagai penghasilan utama. Untungnya mereka memperoleh Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp300 ribu per bulan.
“Hampir dua tahun saya hanya diam di rumah. Saya minder bergaul dengan kawan-kawan sekampung, serta tidak mungkin lagi kembali bekerja,” cecar Edi.
“Untungnya banyak kawan yang mengerti. Mereka sering menjemput saya untuk jalan-jalan. Saya juga mulai mencoba berlatih makan dan minum sendiri, karena tak ingin merepotkan kakek dan nenek terus,” imbuhnya.
Setidaknya dalam setahun terakhir, Edi perlahan bisa mengangkat gelas dan makan sendiri. Lantas untuk mengusir kejenuhan, sosok ramah ini mulai menekuni game Mobile Legend.
“Dulu saya suka bermain sepakbola dan futsal. Namun setelah kejadian, saya belum mencoba main lagi. Terlebih luka di telapak kaki saya baru benar-benar pulih dalam beberapa bulan terakhir,” jelas Edi.
“Meski cukup sulit dan mahal, saya berharap bisa mendapatkan tangan palsu, minimal satu. Lalu belajar desain grafis dan sablon untuk membantu penghidupan kakek nenek,” tandasnya.

Rumah yang ditempati Edi Susanto bersama Slamet dan Warijem di Desa Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon, Barito Kuala. Foto: apahabar.com/Bastian Alkaf