apahabar.com, BANJARBARU – Angka perkawinan anak di Kalimantan Selatan mengkhawatirkan.
Di tingkat nasional, Kalsel menduduki peringkat ke-4 jumlah perkawinan anak terbanyak pada 2021. Naik dua posisi dibanding 2020 lalu.
Lima tahun terakhir, Bumi Lambung Mangkurat selalu masuk 10 besar. Bahkan, pada 2017 dan 2019, Kalsel sempat menduduki peringkat pertama se-Indonesia.
“Ini masih menjadi pekerjaan rumah bersama,” kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kalsel, Adi Santoso, Rabu (29/6).
Ironis, kondisi tersebut juga berpengaruh terhadap tingkat stunting dan angka perceraian. Tak bisa ditampik, ketiga siklus tersebut, menurut Adi, memang saling berkaitan.
Langkah yang mesti dilakukan, adalah mengurangi tingkat anak putus sekolah. Sebab, faktor itu menjadi salah satu pemicu maraknya perkawinan di bawah umur.
Adi berkata masalah ini harus dirumuskan bersama sejumlah pihak terkait.
“Bila masalah anak putus sekolah tidak diselesaikan, maka jumlah perkawinan usia dini dan stunting akan terus meningkat,” ujarnya.
Selain optimalisasi kapasitas anak, upaya lain yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak yakni lingkungan.
Apalabila lingkungan mendukung, maka tingkat perkawinan usia dini di suatu wilayah juga minim.
Kemudian, aksebilitas dan perluasan layanan; penguatan regulasi dan kelembagaan; serta penguatan koordinasi pemangku kepentingan.
“Seluruh instansi harus berkolaborasi untuk menyelesaikan persoalan ini, termasuk peran keluarga dan tokoh masyarakat,” pungkasnya.
Saat ini, DP3A memang sudah mencanangkan Rencana Aksi Daerah (RAD) Pencegahan Perkawinan Anak di Kalsel.
Kebijakan dan langkah strategis tersebut dimuat dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Kalsel Nomor 020 Tahun 2022.
Aturan yang ditetapkan Gubernur Sahbirin Noor tertanggal 1 April 2022 itu mencantumkan 16 buah pasal dan VII Bab.