Histori

Mengamini Ajaran ‘Sedulur Sikep’ dari Suku Samin

Stigmatisasi negatif masih mengakar pada Suku Samin. Padahal, kelompok masyarakat itu menerapkan ajaran sedulur sikep yang berbudi luhur tinggi.

Featured-Image
Suku Samin yang menerapkan ajaran sedulur sikep (Foto: dok. Shutterstock)

apahabar.com, JAKARTA - Aja drengki, tukar padu, dahpen kemeren. Aja kutil jumput, bedhog colog. Demikianlah satu dari sembilan ajaran 'sedulur sikep' yang diamini Suku Samin, kelompok masyarakat nan kerap dikonstruksikan sebagai orang anti-modernisasi lagi tak patuh aturan.

Kirom dalam Etika Samin: Suatu Kajian Filsafat Nusantara (2012) bahkan menyebut warga di Blora, Kudus, dan Pati enggan dianggap bagian dari Suku Samin. Sebab, stigmatisasi negatif masih mengakar pada kelompok masyarakat tersebut.

Berabad-abad lamanya, perilaku dan tingkah laku Suku Samin dianggap tidak sejalan dengan orang pada umumnya. Mereka dinilai tak kooperatif, enggan membayar pajak, tidak mau ikut meronda, sampai suka membangkang.

Perlakuan ‘nyeleneh’ orang Samin yang demikian bahkan dituturkan dalam Wis Wayahe Golek Dalan Gusti Ora Mung Upyek Golek Dalan Bayi (2014). Karya Tumijan dkk itu mengisahkan pengalaman seorang sopir Samin.

Usut punya usut, sang sopir melanggar aturan lalu lintas kala memacu kendaraannya. Polisi pun hendak menilangnya, namun niat tersebut dia kurungkan lantaran sang sopir terlampau super ‘ngeyel.’

Mispersepsi Ajaran Saminisme

Orang Samin sejatinya mendalami ajaran sedulur sikep. Inilah yang membuat mereka senang dipanggil sebagai wong sikep yang berarti orang baik lagi jujur. Sesuai predikat, orang Samin memang sangat jujur dan terbuka terhadap orang lain.

Keterbukaan yang demikian juga berlaku terhadap orang di luar Suku Samin. Mereka berbicara tanpa menyembunyikan sesuatu, sekali pun belum terlalu mengenal lawan bicaranya. Lantaran itulah, mereka dianggap lugu bahkan kurang pintar.

Padahal, orang Samin sebenarnya mengagungkan sikap terpuji yang tercermin dalam ucapan, keseharian, serta ungkapan-ungkapan nan sarat nilai keluhuran. Mereka senantiasa berusaha menerapkan sopan, santun, sabar, rendah hati, sampai menjaga diri dari omongan kotor.

Di sisi lain, memang benar adanya bahwa Suku Samin di masa lampau suka membangkang aturan kolonial. Namun, tindakan itu semata-mata hanya untuk melawan penjajahan Belanda tanpa menggunakan kekerasan.

Sementara dalam kesehariannya, orang Samin menerapkan salah satu ajaran bernama dasar limo. Paham ini melarang mereka untuk memfitnah, mengajarkan untuk tidak serakah, tidak mudah tersinggung, tidak menuduh orang tanpa bukti, serta tidak boleh iri dengki. 

Mereka tidak boleh merampok, mencuri, mengutil, mengambil barang yang ditemukan di jalan pun tidak boleh diambil. Larangan lain yang disebut telung perkoro, ialah tidak boleh banyak bicara, tidak boleh berlebihan, dan mengumbar aturan.

Lahir dari Pemikiran Orang Biasa

Ajarah sedulur sikep yang demikian merupakan buah pemikiran Raden Kohar. Pria yang lantas berganti nama menjadi Samin Surosentiko ini bukanlah ‘ratu’ pembawa keadilan, apalagi rasul utusan Tuhan; dia hanya orang biasa.

Kala usianya menginjak kepala tiga, tepatnya pada 1890, Samin mulai melakukan banyak tapa. Dia pun memperoleh ‘kitab suci’ yang disebut Serat Jamus Kalimasada. Lantas, pria kelahiran Blora itu menyebarkan wahyu tersebut kepada banyak orang.

Ajaran demikian mulanya dia sampaikan di daerah Klopodhuwur, Jawa Tengah. Kemudian, ini menyebar sampai ke Pati, Kudus, Madiun, Bojonegoro, Rembang, Grobogan, Brebes, Tuban, Ngawi, dan Lamongan.

Encyclopedia van Nederlandch Indie (1919) menyebut jumlah pengikut Samin kala itu mencapai 2.300 orang. Angka tersebut belum mencakup semua daerah yang diajarkan Saminisme, tetapi hanya meliputi Blora, Bojonegoro, Pati, dan Kudus.

Sayangnya, Samin harus menghentikan perjalanan menyebarkan wahyunya itu di tahun 1914. Dia meninggal ketika berada di pengasingan di Padang usai ditangkap Pemerintah Belanda lantaran dianggap memimpin pemberontakan.

Kendati begitu, kaum Samin tetap setia mempertahankan ajaran yang dianutnya. Kini, perlahan mereka mulai membuka diri; tak lagi bersikukuh anti-modernisasi seperti dulu. Saminisme pun kian dipahami oleh masyarakat di luar kelompok itu. 

Malahan, Pemerintah Indonesia telah menetapkan kearifan lokal itu sebagai kekayaan budaya bangsa pada 2018 lalu. Saminisme diakui sebagai khazanah budaya yang patut dibanggakan, sebab mengandung ajaran yang berbudi luhur tinggi.

Editor
Komentar
Trending PostsLainnya